Senin, 29 Desember 2008

Stop lecehan kaum agama terhadap adat Batak.

Budaya suku Batak bagi yang merunutkan dengan meminjam istilah Jawa adalah Adiluhung. Ini penting, karena diberbagai tempat kebudayaan ini telah mengalami gesekan yang hebat yang datang dari berbagai tolok ukur.

Secara dhakil-pun budaya Batak ini telah mengalami pertentangan yang tidak sedikit. Setidaknya beberapa petinggi dan tokoh batak yang menonjol akhir akhir ini melontarkan sarkasme dan sinisme terhadap budaya para Ompungnya (nenek moyangnya) sendiri. Seperti ucapan LTG (ret) TB Silalahi yang mengatakan bahwa jika tidak ada DR Ingwer Ludwig Nommensen maka orang batak masih pake cawat.

Tonjokan telak justru datang dari tokoh kredibel dan paham adat Batak secara Khatam yaitu Presiden Dewan Gereja sedunia bernama DR Soritua Albert Ernst Nababan LLD atau dikenal sebagai SAE Nababan. Beliau mengatakan bahwa falsafah Batak tidak sesuai dengan nilai nilai ajaran agama. Dalam anggapan saya pada awalnya mungkin akibat meruncingnya politikisasi internal HKBP tetapi in-sic dia maksudkan sebagai Agama secara Umum (pen: actum de sriptura y fide).

Adat yang mana? Pertanyaan yang muncul bagi awam maupun Batak-Abangan memang kira kira seperti itu. Pada prinsipnya adalah dalam bahasa Batak sebagai Hamoraon (kekayaan), Hasangapon (kehormatan)dan Hagabeon (keturunan).

Sebagai orang batak yang lahir di negeri asing (tubu di pangarantoan), dan sedikit banyak paham sendi sendi adat batak oleh didikan Bapak saya yang Paradat na Bolon (seorang yang dituakan akibat pemahamannya dalam adat), saya hanya bisa berteriak: " What the Ef.. U.. Ce.. Ka..!!!"

Inilah, apa yang saya sebut kacang lupa kulit atau dalam bahasa Jawa sebagai "Kere Munggah Bale" atau yang setara seperti "Petruk dadi Ratu".
Mohon maaf bila saya menyinggung keturunan dan penggemar dari kedua tokoh diatas.
Sebelum mencaci maki saya lebih jauh, tolong tanya... apakah kedua tokoh tersebut secara tidak sadar menjalankan prinsip Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (keturunan) dan Hasangapon (kehormatan), dalam kehidupannya sehari hari? Bukankah jika konsisten menolak falsafah batak tersebut, beliau menjadi bersahaja dan sesuai dengan prinsip yang beliau dengungkan setidaknya tidak frontal menyerang secara blatantly toward "other religion".

Saya juga tidak menutup mata atas akselerasi peningkatan yang dihasilkan atas jasa jasa Ompu Nommensen, beliau dikalangan batak sudah dianggap "dewa" as an Apostel ke tanah Batak. Liberasi Rev. Nommensen atas heart and soul bangso Batak yang tadinya "si-pele Begu" (si penyembah Setan) menjadi kelompok Kristen yang mungkin cenderung sedikit fundamentalist, apalagi suku ini dikenal memiliki perangai "loose canon" alias berangasan. Terutama pendidikan yang diwariskan pada cucu-cicit dari suku ini yang merantau ke segala penjuru dunia.

Ada satu lagu Batak yang dapat dengan JITU men-simulasikan masalah ini yaitu lagi "Alusi-Au (Ahu)" atau yang dikenal sebagai lagu Marragam ragam oleh Nahum Situmorang, yang dimulai dari kata:
"Mar-ragam ragam do sita-sita di hita manisia" (Ber-ragam ragamlah cita cita kita manusia)
"Mar-Asing asing do anggo pangidoan di ganup ganup jolma" (Berlainanlah pengharapan di tiap tiap orang)
"Hamoraon Hagabeon Hasangapon i do dilului na deba" (Kekayaan Keturunan Kehormatan adalah yang dicari segolongan)
"Di na deba asal ma tarbarita goarna tahe" (sekelompok lain yang penting asal namanya terkenal).

Mungkin prinsip ini yang jika dilihat dari istilah batak Elat, Teal, Late (perhatikan huruf cuma berubah posisi) yang kira kira setara iri, dengki, benci dll memang tidak jauh dari hal hal yang bersifat musyrik.
Tetapi, kalau dirogoh lebih kedalam falsafah ini bermuara pada prinsip "Panggoaran" (setara dengan istilah Harga diri) yang jika lebih jauh dirogoh lagi ber-asaz-kan pada Tarombo (silsilah keluarga) suatu "team work" yang dimaksudkan agar segala tindakan para keturunan sekarang tidak akan mempermalukan orang tua maupun nenekmoyangnya.

Etnis batak, sebelum kedatangan para pembaharu ini yang dengan beraninya mengatakan bahwa suku ini terbelakang, telah lebih dulu mempunyai sistem yang sangat tinggi. Harmoni paradaton dari "Dalihan na Tolu" (Tungku nan Tiga) lebih progresif dari hakekat demokartis egaliter ala eropa yang saat itu masih dalam keadaan Feodal.
Bagaimana tiap tiap puak setara dimata adat dan saling kait berangkai dalam tiap acara adat, tanpa perduli apa status sosial anda dimasyarakat.
"Somba marHula-hula, elek marBoru, Manat marDongan Tubu" yang dapat diartikan sebagai menyembah Hula-Hula, lembut kepada keturunan perempuan dan bersabar pada saudara sekitar.

Mendapat sembah penghormatan sebagai hula-hula disatu event adat kemudian menjadi kelompok pelaksana (par-anak) juga yang diperintah (par-Boru) di event lain, sehingga tidak ada posisi permanen yang merupakan sulaman egaliter justru sulit ditemui dari sistem demokrasi eropa.
Dalam menyelesaikan permasalahan juga berasaz prinsip manat mardongan tubu dalam falsafah Marsisungkunan (bertanya) sambil menari Tor-tor dengan ritmik musik Gondang na bolon oleh dua kelompok berseteru secara bersama yang kemudian dicari kata mufakat untuk menyelesaikan perselisihan berlarut larut sebelum matahari terbenam.

APAKAH AGAMA IMPORT KALIAN BISA? Atau justru memperuncing masalah.

Bukannya adat batak tidak menerima moderation tetapi disini adalah pelecehan atas Raja na Ro (Raja yang datang) atas Raja na Dinapot (Raja tuan rumah). Santabi atau Kulo Nuwun (permisi) setidaknya dilakukan oleh para pendatang yang santun, barulah kedua pihak dapat bersintesa secara harmoni selayaknya tuan tumah terhadap tamunya.

Penghormatan perhadap Ompung si jolo jolo Tubu (nenek moyang) yang dikatakan sebagai tindakan Syirik. Dan mengadopsi Debata (setara dengan kata Gusti dalam bahasa Jawa) sebagai ungkapan kepada Tuhan (baik Kristen/Islam). Padahal Debata Mula Jadi na Bolon adalah sang pencipta awal, yang dalam khazanah adat Jawa disebut Sang Prananing Dumadhi.

Suatu "Hahomion (iman)" terhadap ajaran Debata mula jadi na Bolon yang justru ber-intikan kebersamaan, mufakat, dimana dalam adat jawa disebut Tepo Seliro ini justru dilecehkan habis habisan oleh agama Samawi import yang katanya pembawa damai.

Sititik si Gompa (Sititik si Gompa)
Golang golang Pangarahutna (ber gelang pengikatnya)
Tung songon on pe hata na tupa (meski sederhana kata yang tersampir)
Sai gondang ma Pinasuna (Mudah mudahan banyak Berkat didapat).

Semper Fidelis,
HH Samosir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar